TIADA ALASAN UNTUK BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH - . -->

TIADA ALASAN UNTUK BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH

TIADA ALASAN UNTUK BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH
 OLEH : Dr. KH Irfan Aziz, M.Ag
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hayatul Islamiyah Kota Malang

لاَيَعْظُمِ الذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللهِ فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اسْتصْغَرَ فِى جَنْبِ كَلاَمِهِ ذَنْبَهُ لاَصَغِيْرَةَ اِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَلاَ كَبِيْرَةَ اِذَا وَاجَهَكَ فَضْلُهُ.
“Janganlah suatu dosa yang terlihat begitu besar bagimu menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah, sesungguhnya siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya tak seberapa dibanding kemurahan-Nya. Tiada dosa kecil bila dihadapkan kepada keadilan-Nya dan tiada dosa besar bila dihadapkan pada karunia-Nya”.
Kalau ada pepatah “Tiada gading yang tak retak” nampaknya cocok dengan perilaku manusia, tidak ada manusia tanpa dosa dan salah, tetapi sebaik-baik manusia yaitu manusia yang bersalah dan berdosa mau menyadari kesalahannya dan bertobat. Allah berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 135:
 “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”

Dosa dan pahala, taat dan maksiat, susah dan senang, bahagia dan menderita. Itu adalah bawaan hidup, semua orang pasti pernah merasakannya. Bagi orang yang berma’rifatullah empat hal ini hanya dilaluinya sebagai sarana ibadah, maka bagi salikin (pencari jalan Allah) semuanya akan dilaluinya sebagai sarana latihan untuk mendekat kepada Allah.
Ketika senang, Bagaimana dengan cara senangnya itu dapat bersyukur kepada Allah Ta’ala, sehingga senangnya dapat bermanfaat.
Ketika susah, ia berusaha mensyukuri susahnya minimal mampu menjadikan rasa susahnya sebagai sahabat hidupnya.
Arifin sadar-sesadar-sadarnya bahwa untuk pencapaian derajat yang tinggi dihadapan Allah adalah apabila mau bersabar dan bersyukur dikala dirundung sedih dan susah. Ia akan merasakan nikmat dikala pernah merasakan kesusahan dan kesedihan.

Hamba yang bermakrifat kepada Allah menjalani hidupnya penuh perhitungan bagaimana cara mendapatkan ridha Allah.
Apabila sebab berbuat taat ia berusaha keras ketaatannya dapat meningkatkan ketaqwaannya, karena hanya takwalah yang dapat membedakan kemulyaan dihadapan Tuhan-Nya.
Sebaliknya bila sedang berbuat maksiat dosa dihadapan Allah, maka Arifin berusaha bagaimana dosa-dosanya menjadikan dirinya hina dihadapan Allah SWT. sehingga dapat menjadikan dosa-dosanya sebagai sarana tobat kepada Allah Azza Wajalla. Kalau sudah demikian maka dosa itupun akan membawa manfaat bagi orang yang mencari jalan kebenaran (salikin) karena Allah Dzat penerima tobat hamba-Nya.
وَعَنْ أَبِى مُوْسَى عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْشٍ اَلْأَشْعَرِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ص.م. قَالَ اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَطتُوْبَ مُسِئَ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا (رواه مسلم)
“Dari Abu Musa Abdullah Ibn Qois Al-Asy’ari RA. dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala membuka tangan-Nya dimalam hari agar bertaubat pelaku dosa disiang  hari, dan membuka tangan-Nya disiang hari sampai matahari terbit di tempat terbenamnya”. (HR. Muslim)

As-Syaikh Imam Ibnu Athaillah berkata:
“Janganlah suatu dosa terlihat begitu besar bagimu, menghalangimu dari berprasangka baik kepada Allah, sesunggunya siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya tak seberapa dibanding kemurahan-Nya”.

Tanpa sifat Rahman Rahimnya Allah apalah artinya ibadah kita dibandingkan dosa maksiat yang kita lakukan, karena dosa yang kita perbuat di hadapan Allah bukan harian, tetapi per detik seolah dosa kita bersamaan dengan detak jantung kita. Andaikata Allah mau menjatuhkan martabat kita karena dosa, noda dan nista kita pastilah hancur nama baik dan martabat kita.
تُضِلُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ اْلخَيْرِ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرُ.
Begitu juga tidak sulit bagi Allah untuk mengangkat derajat dan martabat hamba-Nya, sehina dan serendah apapun dihadapan manusia bila Allah menghendaki pasti terangkat derajatnya tanpa ada yang bisa menghalangi-Nya.

Bagi Allah tidak ada dosa yang tidak diampuni, kecuali Ia disekutukan-Nya. Karunia dan Rahmat-Nya tiada banding. Belas Kasih-Nya tiada pilih Kasih. Kalau bukan Karunia dan Rahman Rahim-Nya habislah kita. Firman-Nya Surat An-Nahl ayat 61.
 “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan.”

Dosa sekecil apapun bila dihadapkan dengan sifat Maha Adil-Nya Allah, maka dosa itu akan menjadi dosa besar. Ibarat orang yang kencing di hutan belantara walau kencing sebanyak apapun dianggap suatu hal yang biasa dan lumrah, tetapi apabila kencing di istana walau cuma sedikit pastilah dianggap kesalahan besar bahkan mungkin akan dianggap orang tidak waras atau gila.

Begitu juga dengan dosa besar, sebesar apapun dosa yang diperbuat bila dihadapkan dengan Ke-Maha Penyayang-Nya dan Maha Pengampun-Nya maka akan menjadi kecil, karena Allah akan mengampuni hamba-hamba-Nya yang ia kehendaki.
Az-Zumar ayat 53.
 “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Demikian maksud dari Syaikh Imam Ibnu Athaillah “Tiada dosa kecil bila dihadapkan pada keadilan-Nya dan tiada dosa besar bila dihadapkan pada karunia-Nya”.

لاَصَغِيْرَكَ اِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَلاَ كَبِيْرَةَ اِذَا وَجْهَكَ فَضْلُهُ.



 DAFTAR PUSTAKA

1.     Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah Al-Assakandary.
2.     Kitab Al-Hikam, Terjemahan bahasa jawa, Misbah bin Zaini Musthofa.
3.     Percikan Samudra Hikam, Muhammad Luthfi Ghozali.
4.     Al-Hikam Rampai Hikmah, Ibnu Athaillah, Syehk Fadhalla Haeri.
5.     Al-Qur’an Tafsir Perkata, Al-Hidayah.
6.     Shahih Bukhori, Percetakan Al-Hidayah.
7.     Shahih Muslim, Percetakan Al-Hidayah.
8.     Mutu Manikam dari Kitab Hikam, Ikhtisar Abu Hakim dan Kartowiyono, Lc.
9.     Himpunan Dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits, Ahmad Muhammad Yusuf, Lc.

0 Response to "TIADA ALASAN UNTUK BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel