TINGKATAN DZIKIR KEPADA ALLAH
TINGKATAN DZIKIR
KEPADA ALLAH
OLEH : Dr. KH Irfan Aziz, M.Ag
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hayatul Islamiyah Kota
Malang
لاَ تَتْرُكِ
الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضُوْرِكَ مَعَ اللهِ فِيْهِ لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ
وُجُوْدِ ذِكْرِهِ اَشَدُّ مِنْ غَفْلَتِكَ فِى وُجُوْجِ ذِكْرِهِ فَعَسَى اَنْ
يَرْفَعَكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ غَفْلَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ
يَقَظَةٍ, وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ يَقَظَةٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ
حُضُوْرٍ وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ حُضُوْرٍ إِلَى ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ
غَيْبَةٍ عَمَّا سِوَى الْمَذْكُوْرِ وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللهِ بَعَزِيْزِ “Jangan tinggalkan dzikir
lantaran tidak bisa berkonsentrasi kepada Allah ketika berdzikir, karena
kelalaianmu (terhadap Allah) ketika tidak berdzikir lebih berbahaya dari pada
kelalaianmu ketika berdzikir. Mudah-mudahan Allah berkenan mengangkatmu dari
dzikir penuh kelalaian menuju dzikir penuh kesadaran dan dari dzikir penuh
kesadaran menuju dzikir yang disemangati kehadiran-Nya, dan dari dzikir yang
disemangati kehadiran-Nya menuju dzikir yang meniadakan segala selain-Nya”.
“Dan yang demikian itu bagi Allah tidak
sukar”.(Qs.14 : 20).
Sebenarnya
mengingat Allah itu tidak ada batasnya tidak mengenal waktu, jarak dan tempat,
kapanpun dan dimanapun dzikir mengingat Allah bisa dilakukan. Bagi hamba yang
salik menuju ma’rifatullah dzikir itu menjadi sarana untuk mendekat dan sebagai
ajang komunikasi dengan Sang Khaliq penciptanya. Al Qur’an surat Ali Imran ayat
191 menerangkan :
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dzikir ingat
kepada Allah dengan sungguh-sungguh penuh konsentrasi menyatukan jiwa dan hati
dapat membentuk jiwa yang tenang, kenikmatan dzikir yang tertinggi bisa
dirasakan manakala dzikir itu dapat mengalir pada seluruh raga dan jiwa, maka
kalau sudah demikian seluruh gerakannya adalah dzikir, ucapannya dzikir,
kerdipan matanya dzikir bahkan tarikan nafas dan detak jangtungnya pun sama
dengan dzikir. Golongan inilah yang disebut Allah dalam firman-Nya surat
Ar-Ra’du ayat 28 :
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
Bagi hamba
yang berjalan menuju Allah (salik) dzikir adalah salah satu kendaraan yang
paling efektif. Dzikir juga dapat dijadikan obat kegelisahan penawar kerinduan,
penyejuk ketika kegersangan, pencair kebekuan dan sebagai obor penyala semangat
perjuangan. Hamba yang terbelenggu kesusahan, terlilit kesulitan, buntu dalam
segala hal, maka dzikirlah yang dapat melepaskan dan pintu pembuka dalam segala
kebuntuan. Sebagaimana Firman-Nya surat Thohaa ayat 14 :
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# üÌò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
Dalam hal
apapun jika tidak ada ruh dzikirnya maka tidaklah termasuk ibadah apalagi
shalat, maka tidak heran banyak orang yang shalat tetapi masih suka maksiat.
Atau dzikir rutin dijalankan tetapi tidak berefek positif pada kehidupan.
Mungkin dzikirnya salah jalan atau salah niat. Dzikir hanya mencari kesaktian,
ingin dapat pujian atau dzikirnya demi mendapatkan harta karun, harta yang
melimpah bukan mencari ridha Allah Swt. Padahal tanda pengikut Nabi Muhammad
Saw. antara lain dalam surat Al-Fath ayat 29 dijelaskan :
“Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya”.
Hamba yang
mencari ridha Allah dzikirnya tidak dibatasi ruang dan gerak tidak pandang
siang atau malam, susah ataupun bahagia, dalam waktu luang senggang atau pun
sibuk. Yang penting bagaimana dapat menyebut, menyanjung dan berkomunikasi
dengan kekasihnya yaitu Allah Azza Wajalla. Al-Qur’an surat Al-Ahzaab ayat 41 :
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah
(dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”.
Konsep dzikir
menurut Imam Ibnu Athaillah dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu :
1.
الذِّكْرُ مَعَ
وُجُوْدِ غَفْلَةِ
yaitu dzikir dalam keadaan
lupa kepada Allah”. Memang lisannya berdzikir menyebut-nyebut nama Allah tetapi
hatinya tidak pernah sambung bahkan jiwa dan perasaannya berada di mana-mana,
hatinya kosong hanya sekedar lisannya, tetapi apabila dilakukan penuh ikhlas
dan mampunya hanya segitu, maka dzikirnya akan diterima oleh Allah, minimal
dapat pahala niatnya.
Maka benar Syekh Imam Ibnu Athaillah berkata : “Karena
Kelalaianmu (kepada Allah) tanpa adanya dzikir adalah lebih bahaya dari pada
kelalaian hatimu di dalam berdzikir”.
2.
الذِّكْرُ مَعَ
وُجُوْدِ يَقَظَةٍ
“Yaitu dzikir dalam keadaan sadar bahwa ia sedang berdzikir”.
Tingkatan dzikir yang kedua ini adalah membawa rasa nikmat dalam
berdzikirnya karena ia merasakan sedang mendekati Tuhan sang Khaliqnya (Taqarrabun
Ilallah).
“Rasa” dapat dibagi menjadi dua yaitu rasa “Bashara”. Biasanya
orang yang ber perasa Bashara di
dalam dzikirnya masih melibatkan urusan duniawi. Dzikir hanya menginginkan
jabatan lancar, ekonomi lebih tinggi, kedigjayaannya semakin jaya, maka tidak
heran kelompok ini walau suka berdzikir kepada Allah namun hati dan prilakunya
tidak sesuai dengan yang disebut-sebutnya atau dzikirnya. “Rasa” yang ke
dua adalah “Rasa Bashirah”. Bagi orang yang memiliki rasa bashirah di
dalam berdzikir kepada Allah selalu melibatkan ruh dan akalnya demi percapaian
kebahagiaan akhirat. Jadi yang diharapkan hanya ridha Allah.
3.
الذِّكْرُ مَعَ
وُجُوْدِ حُضُوْرٍ
“Dzikir dengan hati yang hadir di sisi Allah”.
Dzikir inilah tergolong tingkatan yang tinggi, karena dzikirnya
selalu terasa nikmat, ia selalu betah berlama-lama dalam berdzikir. Ibarat
sedang bercengkrama dengan kekasihnya walau semalaman suntuk tidak akan terasa
lama. Dzikir pada tingkatan yang ketiga ini membawa manusia sang salik lebih
suka berlama-lama beriyadhah dan bermujahadah dari pada menunggu
anak istri dirumah atau di tempat tidur sekalipun.
اَنْ
يُحِبَّ الله وَرَسُوْلَهُ مِمَّا سِوَى هُمَا
“Lebih
mencintai Allah dan Rasulnya dari pada selain keduanya”.
4. الذِّكْرُ مَعَ وُجُوْدِ غَيْبَةِ عَمَّا سِوَى الله
Yaitu dzikir dengan hilangnya
selain yang di dzikir, yaitu dzikirnya orang salikin yang menjadikan
fana’nya yang selain Allah dan yang ada di dalam hatinya hanyalah Allah.
Kalau kita sudah bisa berada pada
tingkatan yang ke empat ini berarti berada maqom para salikin dan arifin,
karena dzikirnya kepada Allah tidak mengharapkan apa-apa. Ia ikhlas dalam
berucap dan beramal, tidak ada tendensi, jangankan surga yang Allah berikan
nerakapun tak takut Allah berikan.
Bagi orang Arifin Ma’rifat Billah
sadar sesadar-sadarnya akan Maha Rahman dan Maha Rahimnya Allah Swt. Apapun
yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya adalah yang terbaik.
Dari 4 tingkatan berdzikir kepada
Allah perlulah adanya proses, tidak serta merta langsung pada tatanan
tertinggi, maka benar Syeikh Imam Ibnu Athaillah berkata : “Karena kelalaian
hatimu (kepada Allah) tanpa adanya berdzikir adalah lebih berbahaya dari pada
kelalaian hatimu di dalam berdzikir”. Firman Allah dalam surat Al Baqarah
ayat 286 :
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah
Al-Assakandary.
2.
Kitab Al-Hikam, Terjemahan bahasa
jawa, Misbah bin Zaini Musthofa.
3.
Percikan Samudra Hikam, Muhammad
Luthfi Ghozali.
4.
Al-Hikam Rampai Hikmah, Ibnu
Athaillah, Syehk Fadhalla Haeri.
5.
Al-Qur’an Tafsir Perkata,
Al-Hidayah.
6.
Shahih Bukhori, Percetakan
Al-Hidayah.
7.
Shahih Muslim, Percetakan
Al-Hidayah.
8.
Mutu Manikam dari Kitab Hikam,
Ikhtisar Abu Hakim dan Kartowiyono, Lc.
9.
Himpunan Dalil dalam Al-Qur’an dan
Hadits, Ahmad Muhammad Yusuf, Lc.
0 Response to "TINGKATAN DZIKIR KEPADA ALLAH"
Posting Komentar