TIGA TINGKATAN DALAM MENGENAL ALLAH
TIGA TINGKATAN DALAM
MENGENAL ALLAH
OLEH : Dr. KH Irfan Aziz, M.Ag
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hayatul Islamiyah Kota
Malang
شُعَاعُ
الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ قُرْبَهُ مِنْكَ وَعَيْنُ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ
عَدَمَكَ لِوُجُوْدِهِ وَحَقُّ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ وُجُوْدَهُ لاَ عَدَمَكَ
وَلاَ وُجُوْدَكَ
“Sinar
mata batin membuatmu menyaksikan dekatnya Allah denganmu. Dan mata batin
membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. Dan hakikat mata batin
membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu ataupun keberadaanmu”.
Ma’asyiral
Muslimin Rahimakumullah,
Ada 3
tingkatan dalam mengenal Allah yaitu :
1. Pertama Syu’a’ul Bashirah yaitu mengenal
Allah dengan cara menggunakan ilmunya, orang ini mempunyai ilmu yang sempurna
sehingga ilmunya sebagai dalil argumentasi yang dapat mendekatkan dirinya
dengan Allah Swt. Nur Ilmu yang dimiliki dapat dijadikan sarana pencarian
bukti-bukti tentang ke Maha Kuasaan Allah dan ke Maha Rahman dan Rahimnya
Allah. Ilmu yang dimiliki telah mendarah daging sehingga apa yang ia lakukan
cerminan dari Nurul ilminya. Segala tingkah lakunya adalah hasil implementasi
dari kedalaman ilmu yang ia miliki. Firman Allah surat Ali Imran ayat 7 :
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal”.
Saudara seiman dan seagama,
Bagi orang yang mengenal
kedekatannya dengan Allah berdasarkan Syu’a’ul Bashirah fasilitas ilmu
yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya selalu digunakan untuk mencari nur
makrifatullah, sepanjang ia tidak disibukkan dengan urusan dunia, ilmunya dapat
berjalan untuk dijadikan bukti-bukti dan dalil yang me Maha Kuasakan Allah,
tetapi bila ia sibuk dengan urusan dunia, maka ilmunya tidak dapat dijadikan
sarana mengenal Tuhannya, ilmunya layu bagaikan tanaman yang tidak mendapatkan
tetesan air, gersang, layu dan akan mati.
Ucapan dan perbuatan nuril ilmi menyatu
dengan kedalaman ilmunya, tindakan amaliyah sehari-harinya senantiasa terarah,
gerak-geriknya cerminan akhlakul karimah, ia sadar betapa dekatnya Allah,
budaya malu tidak sembrono dalam melangkah sudah jadi Trade Marknya. Jadi
ia merasa diawasi dan diperhatikan Allah, dengan alasan apa lagi bila tidak
hati-hati dalam mengarungi hidupnya. Maka Syeikh Imam Ibnu Athaillah mengatakan
: “Sinar mata batin (Syu’a’ul Bashirah) membuatmu menyaksikan dekatnya
Allah denganmu”.
2. Yang Kedua,
Ainul Bashirah maksudnya adalah seorang hamba yang dapat
menyaksikan Allah dengan mata hatinya sebab adanya Nur Iman (cahaya
iman) dalam hatinya. Hamba yang demikian ini hatinya terang benderang karena
adanya nur ma’rifat, sehingga ia merasakan segala kejadian pada dirinya, senang
dan susah ataupun suka dukanya adalah semata-mata kasih sayang Allah.
Hamba yang Ainul Bashirah tidak
membutuhkan dalil dan argumentasi dalam mengimani Allah, kefanaan dirinya di
hadapan Allah telah cukup menjadi kekuatan bermakrifat kepada Allah, dari lubuk
sanubari yang dalam telah memancar ilmu yang tidak pernah kering walau kemarau
panjang sekalipun, ilmu batinnya mengalir terus menerus sepanjang masa, yang
demikian inilah menghantarkan mata batinnya kepada Allah, hanya Allah dan Allah
semata yang ada dalam relung hatinya walau mata dapat melihat selain-Nya dan
telinga menyaksikan segala kerlap-kerlip dan hiruk pikuknya dunia. Semuanya
lewat hanya sekilas info bagi mata batinnya.
Hamba yang Ainul Bashirah (nur
iman) menjadi kesaksian kefanaan dirinya karena wujud Allah berpandangan, apa
saja yang terjadi itu adalah kehendak Allah, ia tidak pernah mempertanyakan
“Mengapa itu terjadi?”, “Apa yang menyebabkan demikian ?”. Sekali lagi hamba
yang diliputi Nur Iman selalu berhusnudzan kepada Allah. Apapun yang ia
hadapi susah atau senang, suka atau duka itu semua adalah kehendak Allah.
Sebagaimana firman-Nya QS. Al Insan ayat 30 :
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.
3. Adapun
tingkatan yang ketiga adalah Haqqul Bashirah (hakikat mata
batin dapat melihat Allah). Maksudnya adalah hamba yang maqom Haqqul
Bashirah berkeyakinan bahwa semua yang terjadi adalah iradah
(kehendak) dan Qudrad-Nya (Kekuasaan-Nya). Semakin melihat dan merasakan
kejadian semakin dekat kepada-Nya. Adapun bentuk kejadian adalah teguran dan
sapaan harmonis.
Hamba Allah yang ber haqqul bashirah (hakikat mata batinnya)
terbuka dapat melihat Allah, sehingga ia selalu menjaga segala
tindak-tanduknya, karena malu apabila sampai dilihat langsung perbuatannya oleh
Allah Ta’ala. Rasulullah bersabda :
وَاعْبُدُاللهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ تَكُنْ تَرَاهُ وَإِنَّ اللهَ يَرَاكَ
“Sembahlah Allah, seakan-akan engkau melihat Nya, jika engkau tidak
mampu melihat Nya, sesungguhnya Dia (Allah) telah melihatmu”.
Rasulullah mengatakan tingkatan ini adalah
tingkatan ihsan. Hamba yang berhaqqul bashirah adalah berada pada
tingkatan tertinggi. Menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa dirinya dari mana
dan kemana hidupnya bagaikan wayang yang telah diatur ceritanya oleh sang
dalang, jadi hakikat hidupnya hanya ibadah dan ibadah, adapun diterima atau
tidak ibadahnya pasrah dan tawakkal kepada Allah, ibadah bukan sekedar
melaksanakan kewajiban tetapi memenuhi kebutuhan. Oleh karenanya shalat menjadi
nikmat, puasa menjadi puas, dan berkat di dalam berzakat. Maka tidak heran
hamba yang berhaqqul bashirah selalu ingin ibadah dan terus beribadah.
QS.Al-Maidah ayat 93 :
“Tidak ada dosa bagi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan
makanan yang telah mereka makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap
juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan”.
0 Response to "TIGA TINGKATAN DALAM MENGENAL ALLAH"
Posting Komentar